Minggu, 31 Maret 2013

"Lawar Bali" dan "Tum Bungkil" hidangan khas di saat Galungan

Galungan datang lagi.. selain mempersiapkan upakara/banten untuk perayaan,  keluarga kami juga hampir tidak pernah absen membuat lawar (lawar Bali) dan tum untuk hidangan Galungan, karena biasanya sanak famili datang berkunjung dan berkumpul di hari Galungan maupun di hari Manis Galungan keesokan harinya.

Persiapan perayaan Galungan sudah dimulai beberapa hari sebelumnya. Beberapa hari sebelum Galungan keluarga saya sudah mulai mengumpulkan bahan-bahan untuk lawar dan tum yang akan diolah di hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan). Biasanya untuk lawar kami menggunakan buah Nangka atau buah Pepaya yang masih muda, bisa dibeli beberapa hari sebelum Galungan. Tapi kalau menggunakan bahan kacang panjang, belinya harus sehari sebelum Penampahan Galungan karena bahan sayur tersebut mudah busuk.
Selain bahan sayuran tadi, lawar juga berisi daging rebus yang dicincang, parutan kelapa yang telah dibakar sebelumnya, dan dibumbui dengan bumbu bali yang khas. Lawar yang telah diadon hanya tahan beberapa jam, biasanya kami menyisihkan secukupnya lawar untuk disantap segera, dan sisanya dibungkus dengan daun pisang yang dilapisi lembaran daun salam, kemudian dikukus. Lawar kukus, atau disebut juga "tum lawar" bisa dinikmati keeseokan harinya setelah dikukus ulang (dihangatkan), rasanya tetap enak dan bisa tahan beberapa hari.

Selain tum lawar, biasanya kami juga membuat "tum bungkil" yaitu dari bungkil/umbi/akar pohon pisang jenis pisang batu (biu batu). Sebelum digunakan, bungkil pisang ini dibersihkan dulu, dipotong2 dan dikukus kemudian ditumbuk halus dan diperas sampai airnya benar-benar hilang. Barulah dicampur dengan daging rebus yang dicincang dan dibumbui dengan bumbu bali. Setelah dibungkus dengan daun pisang yang dilapisi dengan lembaran daun salam barulah dikukus. Bila sudah cukup matang (ditandai dengan wanginya yang sedap) barulah bisa dinikmati.
Kalau tidak mendapatkan bungkil pisang, bisa juga menggunakan bahan kacang hijau untuk menggantikan bungkil pisang. Namanya menjadi "tum kacang ijo". Kacang hijau dikukus dulu, barulah bisa diadon menjadi tum kacang ijo.

Prosesnya tampak sederhana, tapi dalam prakteknya cukup memakan waktu. Mulai dari mempersiapkan bumbu-bumbu, merebus bahan-bahan, menumbuk, mencincang, memeras, mengadon dan membungkus hingga mengukus, bisa menghabiskan waktu mulai dari dini hari hingga matahari tepat di atas kepala, karena kami membuatnya dalam jumlah banyak.
Di hari Galungan, setelah selesai persembahyangan, kami berkumpul, dan kalau ada sanak family yang berkunjung, kami menyuguhkan tum lawar dan tum bungkil untuk teman bersantap atau untuk sekedar icip-icip, dan tak jarang pula kami saling tukar menukar tum..

Begitulah, tum lawar dan tum bungkil hidangan khas Galungan yang mengakrabkan suasana Galungan dan mempererat hubungan kekerabatan..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar