Persiapan perayaan Galungan sudah dimulai beberapa hari sebelumnya. Beberapa hari sebelum Galungan keluarga saya sudah mulai
mengumpulkan bahan-bahan untuk lawar dan tum yang akan diolah di hari
Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan). Biasanya untuk lawar kami
menggunakan buah Nangka atau buah Pepaya yang masih muda, bisa dibeli beberapa
hari sebelum Galungan. Tapi kalau menggunakan bahan kacang
panjang, belinya harus sehari sebelum Penampahan Galungan karena bahan sayur
tersebut mudah busuk.
Selain bahan sayuran tadi, lawar juga berisi daging rebus
yang dicincang, parutan kelapa yang telah dibakar sebelumnya, dan dibumbui
dengan bumbu bali yang khas. Lawar yang telah diadon hanya tahan beberapa jam,
biasanya kami menyisihkan secukupnya lawar untuk disantap segera, dan sisanya
dibungkus dengan daun pisang yang dilapisi lembaran daun salam, kemudian
dikukus. Lawar kukus, atau disebut juga "tum lawar" bisa dinikmati
keeseokan harinya setelah dikukus ulang (dihangatkan), rasanya tetap enak dan
bisa tahan beberapa hari.
Selain tum lawar, biasanya kami juga membuat "tum
bungkil" yaitu dari bungkil/umbi/akar pohon pisang jenis pisang batu (biu
batu). Sebelum digunakan, bungkil pisang ini dibersihkan dulu, dipotong2 dan
dikukus kemudian ditumbuk halus dan diperas sampai airnya benar-benar hilang.
Barulah dicampur dengan daging rebus yang dicincang dan dibumbui dengan bumbu
bali. Setelah dibungkus dengan daun pisang yang dilapisi dengan lembaran daun
salam barulah dikukus. Bila sudah cukup matang (ditandai dengan wanginya yang
sedap) barulah bisa dinikmati.
Kalau tidak mendapatkan bungkil pisang, bisa juga
menggunakan bahan kacang hijau untuk menggantikan bungkil pisang. Namanya menjadi
"tum kacang ijo". Kacang hijau dikukus dulu, barulah bisa diadon
menjadi tum kacang ijo.
Prosesnya tampak sederhana, tapi dalam prakteknya cukup
memakan waktu. Mulai dari mempersiapkan bumbu-bumbu, merebus bahan-bahan,
menumbuk, mencincang, memeras, mengadon dan membungkus hingga mengukus, bisa
menghabiskan waktu mulai dari dini hari hingga matahari tepat di atas kepala,
karena kami membuatnya dalam jumlah banyak.
Di hari Galungan, setelah selesai persembahyangan, kami
berkumpul, dan kalau ada sanak family yang berkunjung, kami menyuguhkan tum
lawar dan tum bungkil untuk teman bersantap atau untuk sekedar icip-icip, dan
tak jarang pula kami saling tukar menukar tum..
Begitulah, tum lawar dan tum bungkil hidangan khas Galungan yang mengakrabkan suasana
Galungan dan mempererat hubungan kekerabatan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar